Thursday 29 March 2012

Blog Abu Furqan

Blog Abu Furqan


Doa Penutup Majelis

Posted: 28 Mar 2012 05:00 PM PDT

Imam Abu ‘Isa at-Tirmidzi rahimahullah dalam kitab Sunan beliau meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu tentang apa yang harus dibaca jika mau beranjak dari sebuah majelis. Berikut redaksi doanya:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

“Maha Suci Engkau ya Allah, dan segala pujian untuk-Mu. Aku bersaksi tidak ada yang berhak disembah kecuali Engkau. Aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”

[Hadits ini terdapat dalam Sunan at-Tirmidzi Juz 5 hal. 494, hadits no. 3433 (maktabah syaamilah, tarqiimul kitaab muwaafiq lil mathbuu'). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad, an-Nasa-i dalam as-Sunan al-Kubra, ad-Darimi, al-Hakim, al-Bazzar, ath-Thabrani, dan lain-lain dengan redaksi masing-masing]

Imam at-Tirmidzi mengomentari hadits yang beliau riwayatkan ini, “Hadits ini hasan shahih gharib dari sisi ini. Saya tidak mengetahuinya dari hadits Suhail kecuali dari sisi ini.” Al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak mengomentari hadits ini (dengan sedikit perbedaan redaksi hadits), “Hadits ini hadits shahih sesuai syarat Muslim, namun mereka berdua (al-Bukhari dan Muslim) tidak mengeluarkannya.” Dalam kitab Shahih wa Dha’if Sunan at-Tirmidzi, al-Albani menyatakan hadits ini adalah hadits shahih.

Tentang doa ini, sebagaimana disebutkan oleh at-Tirmidzi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa setiap orang yang berada dalam sebuah majelis (tempat orang-orang berkumpul) dan banyak berbicara di dalamnya, kemudian sebelum beranjak dari majelisnya tersebut ia membaca subhaanakaLlahumma wa bihamdika asyhadu allaa ilaaha illaa anta astaghfiruka wa atuubu ilaik, maka dosa-dosa yang dilakukannya di majelis tersebut akan diampuni.

Dalam riwayat Abu Dawud dan Ahmad dari Abu Barzah al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, setelah Rasulullah membaca doa ini, kemudian sebagian shahabat bertanya tentang doa tersebut yang belum pernah mereka dengar dari beliau sebelumnya. Rasulullah kemudian mengatakan, “Ia adalah penebus dosa yang terjadi di majelis ini.” Dari sini lah kemudian doa ini dikenal dengan istilah doa kaffarah al-majlis (penebus dosa dalam majelis).

Semoga kita bisa mengamalkan doa ini, setiap kita beranjak dari majelis apapun yang kita ikuti. Wallahul musta’aan.

*****

Baca juga semua artikel di bawah ini:

Wednesday 28 March 2012

Blog Abu Furqan

Blog Abu Furqan


Islam yang Rasional dan Toleran

Posted: 27 Mar 2012 05:00 PM PDT

Senang saya membaca situs JIL. Isinya jauh dari emosi dan caci maki, dan selalu mengajak kita untuk berpikir tenang dan rasional. Di seberang sana, yang sebenarnya tidak jauh-jauh amat, ada situs yang isinya penuh dengan emosi dan kelihatannya tiada tulisan tanpa caci maki, situs yang isinya mengajak kita untuk membenci sesama umat Islam. JIL sebaiknya mempertahankan sikapnya, yaitu istiqomah mengembangkan budaya Islam yang rasional dan toleran.

Kutipan di atas merupakan komentar salah seorang pembaca tulisan Ulil Abshar-Abdalla yang berjudul “Demokrasi dan Problem Konsensus” di situs islamlib.com (diakses pada tanggal 28 Maret 2012). Islam yang rasional dan toleran, itulah yang diusung oleh Jil, paling tidak menurut salah satu komentator situs JIL tersebut. Islam dengan tipe ini kemudian coba dihadap-hadapkan dengan Islam yang penuh emosi dan caci maki. Begitulah.

Pertanyaan besarnya, benarkah kelompok JIL dan kroni-kroninya memang benar-benar rasional dan toleran? Mari kita lihat.

1. Kasus FPI

Adalah kabar baik ketika Sabtu 11 Februari lalu masyarakat adat suku Dayak menegaskan sikapnya menolak kehadiran FPI di Bandar Udara Cilik Riwut, Palangkaraya. Mengapa kabar baik? Ini tidak berarti pihak-pihak yang selama ini dibuat gerah oleh satu kelompok kecil yang kerap melakukan tindakan anarkis dalam aksi-aksinya hendak merayakan sedikit kemenangan para pejuang pluralisme. Juga bukan berarti kita melanggar kebebasan suatu kelompok masyarakat dalam berserikat. Tetapi, ini berdasar pada kebutuhan mutlak manusia: kebebasan dari tekanan.

“Pelbagai alasan di atas dan pertimbangan lainnya yang muncul dalam pertemuan itu, lantas pada sekitar pukul 17.00 WIB disepakati kelahiran "Gerakan Indonesia Tanpa FPI." Gerakan ini memiliki satu visi: penolakan terhadap kekerasan atas nama apapun. Tugas pertama yang ingin diembannya adalah menolak secara tegas keberadaan FPI di Indonesia. Pernyataan sikap berupa petisi dan press release mengenai penolakan ini menjadi prakondisi yang akan ditempuh gerakan ini. Petisi akan diajukan di antaranya kepada Kemendagri, Kemenkumham, Polri dan kelompok FPI itu sendiri. Di samping itu, gerakan ini pun akan memanfaatkan momentum Valentine's day (yang diharamkan FPI) sebagai hari di mana aksi penolakan terhadap FPI akan dilakukan secara massif di Jakarta.

(Dua paragraf di atas merupakan kutipan artikel yang berjudul “Indonesia Tanpa FPI“, tulisan Evi Rahmawati di situs islamlib.com, diakses pada tanggal 28 Maret 2012)

Lihatlah. Ini salah satu bukti atas ketidak konsistenan mereka mengusung gagasan toleransi. JIL dan yang semisalnya hanya akan toleran terhadap kelompok, orang atau gagasan yang satu akar dengan mereka. Sedangkan kelompok, orang atau gagasan yang berbeda apalagi bertentangan, secara sistematis akan mereka upayakan tereliminasi dari negeri ini. Inilah watak mereka sesungguhnya.

Padahal, seandainya JIL dan kawan-kawannya konsisten, yang seharusnya disalahkan dan dikritik adalah kelompok penghadang FPI, karena mereka telah melakukan tindakan anarkis dan sangat intoleran terhadap kelompok yang berbeda. (berita tentang kasus ini, bisa dibaca di: http://www.eramuslim.com/berita/nasional/sikap-resmi-fpi-atas-penolakan-suku-dayak-terhadap-kehadiran-fpi.htm, http://www.eramuslim.com/berita/nasional/siapa-yang-bermain-dalam-penolakan-fpi-di-dayak.htm, http://hidayatullah.com/read/21133/13/02/2012/tokoh-adat%3A-justru-warga-dayak-meminta-pendirian-fpi.html, dan http://hidayatullah.com/read/21111/12/02/2012/habib-rizieq%3A-provokator-ingin-rusak-hubungan-baik-fpi-dengan-dayak.html, semuanya diakses pada tanggal 28 Maret 2012).

2. Konsep Islam Nusantara dan Islam Substantif

Ini adalah dampak dari Islam sebagai agama universal. Dalam quran disebut, “dan kami utus kamu ya Muhammad sebagai penebar kasih sayang.” Artinya Islam itu bukan hanya tumbuh di Timur Tengah tapi juga di seluruh dunia. di India berkembang sebagai Qadian, di Persia ada Syiah, di Asia, Eropa dan Amerika.

Ketika Islam menjadi agama universal, maka ekspresi-ekspresi dalam bentuk mazhab dan sekte adalah sesuatu bentuk keniscayaan, kita tidak mungkin membuat parameter tunggal terhadap Islam lalu mengatakan, ini yang paling absah dalam Islam. Ini yang terjadi pada masyarakat kita. bahwa pemahaman masyarakat terhadap Islam hanya bersifat tekstual dan tidak bersifat kontekstual sosiologis melihat bagaimana pengaruh-pengaruh sosial yang terjadi, ini akibat kita menjadikan Arab sebagai kiblat dalam beragama, mestinya kita mendudukan Arab sebagai salah satu parameter saja dan mencoba untuk memahami parameter-parameter lain, kasus Ahmadiyah ini kalau kita tak hati-hati, maka keberagaman islam di Indonesia akan punah, tidak bisa berkembang seperti hari ini, di mana islam beradaptasi atau berakulturasi dengan kebudayaan.

Karenanya kita harus merumuskan dengan apa yang disebut Islam Nusantara, yakni islam yang berbeda dengan Islam yang ada di Arab. Gus Dur dulu merumuskan, Islam yang lebih mendekati kepada substansi ajaran Islam bukan pada aksesorisnya atau simbol-simbolnya, atau hukum-hukumnya. Substansi Islam itu kalau kita tarik keadilan, kedamaian, kesetaraan, kebijaksanaan, kalau kita tarik akan memperkuat solidaritas di kalangan umat Islam sendiri dan umat agama lain, dan itu sesuai dengan misi kenabian yang dibawa oleh Nabi Muhammad.

(Tiga paragraf di atas merupakan kutipan wawancara Kompas dengan Zuhairi Misrawi yang berjudul “Gus Mis: Ghulam Ahmad Nabi Bayangan“, diakses pada tanggal 28 Maret 2012)

Jika yang dimaksud dengan rasional adalah sesuai dengan akal pikiran yang sehat, maka gagasan yang dikemukakan oleh Zuhairi Misrawi di atas tidak rasional. Alasannya sederhana saja:

a) Bagi muslim yang aqidahnya lurus, meyakini kebenaran dan kesempurnaan ajaran islam adalah sebuah keniscayaan.

b) Mempertentangkan Islam Arab dengan Islam Nusantara sangat tidak relevan, karena dua istilah tersebut tidak dikenal dalam Islam. Islam mainstream (yang disebut oleh Zuhairi Misrawi sebagai Islam Arab. Istilah Islam mainstream pun sebenarnya kurang tepat, saya cuma menggunakannya untuk memperjelas saja) tidaklah lahir dari budaya Arab. Ia lahir dari wahyu.

Bagi yang pernah mengkaji sejarah Islam, tentu tahu bahwa banyak ajaran Arab yang ditentang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tidak sesuai dengan tuntunan wahyu dari Allah ta’ala. Karena gagasan Islam Arab tidak relevan, maka gagasan Islam Nusantara tentu lebih tidak relevan.

c) Mempertentangkan Islam substantif dengan Islam formalistik juga tidak relevan. Islam adalah aqidah dan syariah. Islam mencakup ibadah, muamalah, siyasah, hudud, akhlak dan ajaran-ajaran lainnya yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah, yang kemudian terkodifikasi dalam kitab-kitab fiqih yang ditulis oleh para ulama yang keilmuannya diakui selama rentang waktu yang panjang.

Jika ada yang menyatakan bahwa substansi Islam adalah keadilan, kedamaian dan persatuan, maka tiga hal tersebut hanya akan bisa terwujud jika hukum-hukum formal Islam seperti politik Islam, ekonomi Islam, hudud, pemerintahan Islam, dan seterusnya diterapkan. Keadilan misalnya –jika dipahami sebagai substansi Islam–, tanpa penerapan hukum Islam secara formal, hanya akan menjadi pepesan kosong belaka, tak akan pernah terwujud.

d) Keniscayaan beragamnya pemikiran dan pendapat di tubuh umat Islam memang benar. Lahirnya berbagai m adzhab dalam bidang fiqih dan aqidah misalnya menunjukkan hal tersebut. Namun, yang kadang ditutupi oleh kalangan liberal adalah, ulama (sebagai waratsah al-anbiyaa dalam ilmu) tetap punya standar dalam menilai perbedaan tersebut. Pada kelompok atau pemikiran yang jelas-jelas menyimpang dari pokok aqidah dan syariah Islam, ulama dengan tegas memvonis kekafiran dan kesesatan mereka. Saat ini, hal ini misalnya berlaku pada Ahmadiyah yang memiliki Nabi setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

3. Konsep Islam Rahmatan Lil ‘Aalamiin

Konsep lain yang juga menunjukkan tidak rasionalnya pemikiran JIL dan kawan-kawannya adalah tentang rahmatan lil ‘aalamiin. Untuk sedikit memahami kekeliruan fatal konsep rahmatan lil ‘aalamiin­­-nya kalangan liberal, silakan baca tulisan saya yang berjudul “Makna Rahmatan Lil 'Aalamiin, Antara Pluralisme dan Islam“.

4. Gugatan Terhadap Klaim Kebenaran

Tentu, pelabelan sesat dan kafir terhadap pihak yang disandarnya menimbulkan dampak yang begitu besar. Kalau saya boleh katakan, pelabelan tersebut secara tidak langsung kita boleh membunuh orang yang sudah dklaim sesat dan kafir tersebut, atas berbedanya pandangan, pemikiran dan keyakinan. Begitu pula sebaliknya manusia yang di tuduh sesat dan kafir itu melakukan sebuah pembelaan atas haknya, bahkan saling tuduh kembali, melemparkan kesesatan itu pada yang menuduhnya. Masalah yang muncul selanjutnya adalah perang klaim kebenaran dan perang penyelamatan (truth claim-salvation). Kaum beragama mengaku bahwa agama sendirinyalah yang paling benar dan agama yang lain itu salah. Hal ini menurut D'adamo merupakan krisis epistemologis dalam agama berakar pada RWK (religion way of knowing). Mengklaim bahwa teks agama itu pertama: bersifat konsisten dan penuh dengan klaim kebenaran- tanpa kesalahan sama sekali. Kedua bersifat lengkap dan final- jadi tidak ada kebenaran (tidak ada kebenaran di agama lain), ketiga: teks-teks keagamaan itu dianggap satu-satunya jalan untuk keselamatan, pencerahan, pembebasan. Dan keempat dalam bahasa aslinya D'adamo have an inspired or divine author (god who is their true author).

(Paragraf di atas merupakan kutipan artikel yang berjudul “Keyakinan sebagai Wilayah Otonom Manusia“, tulisan Muhamad Isomuddin di situs islamlib.com, diakses pada tanggal 28 Maret 2012)

Membaca kutipan paragraf di atas, saya bisa menyimpulkan satu hal, kelompok yang menggugat truth claim bukan saja tidak rasional, namun sangat bodoh. Sederhana saja kita melihatnya, jika kita sebagai muslim tak meyakini bahwa hanya agama Islam saja yang akan menunjukkan jalan keselamatan dunia akhirat bagi kita, lalu untuk apa kita menjadi muslim? Toh, agama lain pun –yang mungkin ‘beban’ perintah dan larangannya tak seberat Islam– juga bisa menyelamatkan kita. Lihatlah kedunguan logika ini.

Untuk tema truth claim ini, silakan baca juga tulisan saya yang berjudul “Menggugat Pluralisme [2]: Mematikan 'Truth Claim', Menghidupkan Kebimbangan“.

*****

Seandainya ingin diungkap lebih lanjut, maka banyak sekali bukti yang menunjukkan bahwa konsep ‘Islam yang rasional dan toleran’ yang dijajakan oleh JIL dan yang serupa dengannya ternyata gagal mereka praktikkan sendiri. Gagasan mereka adalah gagasan yang absurd.

Alhamdulillah, saat ini sudah banyak kalangan, baik muda maupun tua, yang sudah mengetahui dan menyadari kebobrokan pemikiran liberal yang diusung oleh JIL dan semisalnya. Namun, sayangnya kesadaran tersebut masih belum sampai ke akar persoalan. Bagaimanapun, pemikiran nyeleneh ala Cak Nur, Gus Dur, dan Ulil hanya bisa tumbuh dan berkembang di negara yang tidak berfungsi menjaga aqidah umat. Dalam negara yang sekularisme menjadi asas berdirinya, pemikiran sesesat apapun akan diizinkan menetap di dalamnya. Di tengah-tengah masyarakat yang pemikiran dan perasaannya teracuni oleh gagasan-gagasan sekuler dan anti syariah, keberadaan JIL dan yang semisalnya akan selalu dan terus ada, paling banter mereka hanya akan ganti baju.

Inilah akar masalahnya. Akar masalah dari berkembangnya pemikiran liberal yang diusung JIL dan konco-konco­nya adalah tidak diterapkannya Islam secara kaffah. Dan penerapan Islam secara kaffah hanya bisa terwujud jika ada institusi (negara, state, daulah) yang berasaskan aqidah Islam yang menjaga keberlangsungan penerapannya.

*****

Baca juga semua artikel di bawah ini:

Wednesday 21 March 2012

Blog Abu Furqan

Blog Abu Furqan


7 Tingkatan Hadits Shahih

Posted: 20 Mar 2012 05:00 PM PDT

Hadits shahih, menurut ulama Hadits, memiliki beberapa tingkatan, yang satu tingkat lebih shahih dibandingkan tingkat di bawahnya. Dilihat dari kitab-kitab yang mengeluarkan Hadits-Hadits shahih tersebut, Hadits shahih terbagi menjadi 7 tingkat, sebagai berikut:

1. Hadits shahih yang disepakati/dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Ini adalah tingkatan Hadits yang paling tinggi.

2. Hadits shahih yang dikeluarkan oleh al-Bukhari, namun tidak dikeluarkan oleh Muslim.

3. Hadits shahih yang dikeluarkan oleh Muslim, namun tidak dikeluarkan oleh al-Bukhari.

4. Hadits shahih yang sesuai dengan syarat al-Bukhari dan Muslim, namun mereka berdua tidak mengeluarkannya.

5. Hadits shahih yang sesuai dengan syarat al-Bukhari saja, namun beliau tidak mengeluarkannya.

6. Hadits shahih yang sesuai dengan syarat Muslim saja, namun beliau tidak mengeluarkannya.

7. Hadits yang dishahihkan oleh imam-imam ahli Hadits selain al-Bukhari dan Muslim, yang tidak memenuhi syarat al-Bukhari dan Muslim, atau salah satu di antara keduanya. Ini adalah tingkatan Hadits shahih yang paling rendah.

Keterangan:

Sebenarnya al-Bukhari dan Muslim tidak secara eksplisit menyebutkan syarat-syarat hadits shahih versi mereka. Syarat-syarat tersebut ditemukan oleh para ulama peneliti hadits al-Bukhari dan Muslim berdasarkan pengkajian, penelusuran dan penelaahan terhadap uslub-uslub yang digunakan oleh mereka berdua.

Menurut Dr. Mahmud ath-Thahhan, yang dimaksud dengan syarat Syaikhan (al-Bukhari dan Muslim) atau salah satu di antara keduanya adalah ditinjau dari para perawi yang meriwayatkan hadits di dua kitab tersebut atau salah satunya serta tata cara yang diambil oleh Syaikhan dalam meriwayatkan hadits dari para perawi tersebut.


Bahan Bacaan:

Kitab Taysir Mushthalah al-Hadits karya Dr. Mahmud ath-Thahhan

*****

Baca juga semua artikel di bawah ini:

Sunday 18 March 2012

Blog Abu Furqan

Blog Abu Furqan


Adakah Bid’ah Hasanah?

Posted: 17 Mar 2012 05:00 PM PDT

Bid’ah hasanah, sebuah istilah yang sering menjadi polemik di tengah umat. Ada yang mendukung, dan ada yang menolak. Bahkan ada yang menyatakan istilah bid’ah hasanah itu hanya dibuat-buat oleh pelaku bid’ah sebagai pembenaran atas aktivitas mereka. Benarkah seperti itu?

Istilah bid’ah hasanah ternyata telah dikemukakan oleh ulama-ulama besar yang menjadi rujukan umat Islam. Berikut di antaranya:

1. Imam Nashir as-Sunnah Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i al-Muthallibi (w. 204 H)

Dalam kitab Hilyah al-Auliyaa wa Thabaqat al-Ashfiyaa [IX/113] karya Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani (w. 430 H) dinukil pernyataan Imam asy-Syafi’i sebagai berikut:

البدعة بدعتان بدعة محمودة، وبدعة مذمومة. فما وافق السنة فهو محمود، وما خالف السنة فهو مذموم

Artinya: “Bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Yang sesuai dengan as-Sunnah, maka ia terpuji. Sedangkan yang berlawanan dengan as-Sunnah, maka ia tercela.”

Beliau berhujjah dengan perkataan ‘Umar ibn al-Khaththab, ‘sebaik-baik bid’ah adalah ini’.

2. Sulthan al-’Ulama Imam ‘Izz ad-Diin ‘Abd al-’Aziz ibn ‘Abd as-Salam ad-Dimasyqi (w. 660 H)

Dalam kitab Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam [II/204], Imam ‘Izz ad-Diin ibn ‘Abd as-Salam menyatakan:

البدعة فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله – صلى الله عليه وسلم -. وهي منقسمة إلى: بدعة واجبة، وبدعة محرمة، وبدعة مندوبة، وبدعة مكروهة، وبدعة مباحة، والطريق في معرفة ذلك أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة: فإن دخلت في قواعد الإيجاب فهي واجبة، وإن دخلت في قواعد التحريم فهي محرمة، وإن دخلت في قواعد المندوب فهي مندوبة، وإن دخلت في قواعد المكروه فهي مكروهة، وإن دخلت في قواعد المباح فهي مباحة

Artinya: “Bid’ah adalah aktivitas yang tidak ada di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ia terbagi menjadi: bid’ah yang wajib, bid’ah yang diharamkan, bid’ah yang mandub, bid’ah yang makruh, dan bid’ah yang mubah. Dan metode untuk mengetahui hal ini adalah melihat hubungannya dengan kaidah-kaidah syari’ah. Jika masuk ke kaidah wajib, maka bid’ah tersebut menjadi wajib. Jika masuk ke kaidah pengharaman, maka ia menjadi haram. Jika masuk ke kaidah mandub, maka ia mandub. Jika masuk ke kaidah makruh, maka ia makruh. Dan jika masuk ke kaidah mubah, maka ia menjadi mubah.”

Beliau menyebutkan salah satu contoh bid’ah yang mubah adalah berjabat tangan setelah shalat shubuh dan ‘ashar.

3. Imam Muhy ad-Diin Abu Zakariya Yahya ibn Syaraf an-Nawawi (w. 676 H)

Dalam kitab Tahdzib al-Asma wa al-Lughat [III/22], Imam an-Nawawi menyatakan:

البِدعة بكسر الباء في الشرع هي إحداث ما لم يكن في عهد رسول الله – صلى الله عليه وسلم -، وهي منقسمة إلى: حسنة وقبيحة

Artinya: “Bid’ah, dengan huruf ba’ di-kasrah, menurut syara’ adalah perkara baru yang belum ada di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ia terbagi menjadi dua, hasanah dan qabihah.”

Dalam kitab al-Minhaj Syarh Shahih Muslim [VII/104-105], Imam an-Nawawi ketika mengomentari hadits “man sanna fil Islam sunnatan hasanatan…” menyatakan:

وفي هذا الحديث تخصيص قوله صلى الله عليه وسلم كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وأن المراد به المحدثات الباطلة والبدع المذمومة وقد سبق بيان هذا في كتاب صلاة الجمعة وذكرنا هناك أن البدع خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة

Artinya: “Dan hadits ini merupakan takhshish (pengkhususan) dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘setiap yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat’. Yang dimaksud oleh hadits ini (kullu bid’atin dhalalah) adalah perkara baru yang batil dan bid’ah yang tercela. Dan sebelumnya sudah ada penjelasan dalam kitab (bab) Shalat Jum’at, disana kami menyebutkan bahwa bid’ah terbagi menjadi lima macam, yaitu bid’ah yang wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah.”

4. Imam al-Hafizh Abu al-Fadhl Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-’Asqalani (w. 852 H)

Dalam Kitab Fath al-Bari [IV/253], Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani menyatakan:

والبدعة أصلها ما أحدث على غير مثال سابق وتطلق في الشرع في مقابل السنة فتكون مذمومة والتحقيق أنها إن كانت مما تندرج تحت مستحسن في الشرع فهي حسنة وأن كانت مما تندرج تحت مستقبح في الشرع فهي مستقبحة وإلا فهي من قسم المباح

Artinya: “Dan bid’ah pada asalnya adalah perkara baru yang tidak ada contohnya di masa lalu. Dan disebutkan oleh syara’, jika bertentangan dengan as-Sunnah, maka ia tercela. Dan berdasarkan pengkajian, jika bid’ah tersebut termasuk dalam perbuatan yang dianggap baik oleh syara’, maka ia adalah bid’ah hasanah. Jika bid’ah tersebut termasuk dalam perbuatan yang dianggap jelek oleh syara’, maka ia adalah bid’ah yang buruk. Dan jika tidak termasuk dalam keduanya, maka ia termasuk dalam bid’ah yang mubah.”

Dalam kitab al-Hawi li al-Fatawa [I/229] karya Imam as-Suyuthi, dinukil pernyataan Imam al-Hafizh Ibn Hajar tentang maulid sebagai berikut:

أصل عمل المولد بدعة لم تنقل عن أحد من السلف الصالح من القرون الثلاثة، ولكنها مع ذلك قد اشتملت على محاسن وضدها، فمن تحرى في عملها المحاسن وتجنب ضدها كان بدعة حسنة وإلا فلا

Artinya: “Asal perbuatan maulid adalah bid’ah. Tidak diriwayatkan oleh satu orang pun dari kalangan salafus shalih di tiga ksurun pertama. Akan tetapi di dalamnya terdapat kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan. Barangsiapa melakukan kebaikan-kebaikan tersebut di dalamnya, dan menjauhi keburukan-keburukannya, maka itu adalah bid’ah hasanah, dan jika ia tidak melakukannya maka itu bukan bid’ah hasanah.”

Imam ‘Abd ar-Rahman ibn Abi Bakr Jalal ad-Diin as-Suyuthi (w. 911 H)

Dalam kitab al-Hawi li al-Fatawa [I/221-222], Imam as-Suyuthi menyatakan:

عندي أن أصل عمل المولد الذي هو اجتماع الناس وقراءة ما تيسر من القرآن ورواية الأخبار الواردة في مبدأ أمر النبي صلى الله عليه وسلم وما وقع في مولده من الآيات، ثم يمد لهم سماط يأكلونه وينصرفون من غير زيادة على ذلك – هو من البدع الحسنة التي يثاب عليها صاحبها لما فيه من تعظيم قدر النبي صلى الله عليه وسلم وإظهار الفرح والاستبشار بمولده الشريف

Artinya: “Menurutku, pada dasarnya aktivitas maulid adalah berkumpulnya manusia sembari membaca yang mudah dari al-Qur’an, menyampaikan cerita tentang awal mula keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang terjadi saat kelahiran beliau dari berbagai ayat. Kemudian disajikan kepada mereka hidangan untuk mereka makan. Jika mereka melakukan hal tersebut, tanpa ada tambahan yang lain, maka itu termasuk bid’ah hasanah, yang pelakunya akan mendapat pahala. Hal ini karena mereka mengagungkan kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran beliau yang mulia.”

*****

Beginilah adanya. Jadi, jika ada orang yang menyatakan bahwa bid’ah hasanah tidak dikenal di kalangan ulama yang mu’tabar, kenyataannya adalah sebaliknya, istilah bid’ah hasanah bukan cuma dikenal, bahkan didukung oleh sebagian mereka.

Memang, pembagian bid’ah semacam ini diperselisihkan di kalangan ulama. Ada yang menerima dan mendukung, ada juga yang menolak. Yang mendukung istilah ini pun, dalam rinciannya belum tentu sama. Namun, paling tidak, dari beberapa kutipan yang saya muat di atas, mudah-mudahan sedikit membuka mata dan telinga kita, bahwa pembagian semacam ini adalah perkara khilafiyah. Kita tentu boleh mengikuti salah satu pendapat, yang menurut kita kuat (silakan baca: http://abufurqan.com/2012/02/11/beberapa-sikap-ilmiah-dalam-pengkajian-pemikiran-islam/), namun kita juga harus bisa berlapang dada terhadap pendapat yang berbeda.

Jika ada yang mengatakan bahwa yang harus kita ikuti adalah perkataan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan perkataan si fulan A atau si fulan B, pernyataan ini benar. Kita memang harus mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Namun, yang juga perlu kita ketahui, untuk memahami secara benar al-Qur’an dan as-Sunnah, itu tidaklah mudah. Perlu disiplin ilmu tertentu dengan kedalaman kajian tertentu, baru kita bisa secara langsung merujuk kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika belum mampu, tentu kita wajib mengikuti pendapat ulama yang mumpuni dalam hal ini.

Jika kita kenal Imam asy-Syafi’i,’Izz ad-Diin ibn ‘Abd as-Salam, an-Nawawi, al-Hafizh Ibn Hajar dan as-Suyuthi, tentu kita tak bisa menerima jika ada yang menyatakan bahwa lima nama tersebut berpendapat mengikuti hawa nafsu mereka. Siapakah kita dibanding mereka?

Terakhir, perlu saya jelaskan bahwa di sini saya sama sekali tidak mengemukakan pendapat mana yang saya ikuti. Tulisan ini hanya ingin mendudukkan persoalan ini –semampu saya– secara lebih proporsional. Bahwa dalam persoalan ini terjadi ikhtilaf di kalangan ulama, ini harus diterima, karena faktanya memang demikian.

Wallahul muwaffiq ilaa aqwamith thariiq.

*****

Baca juga semua artikel di bawah ini:

Friday 16 March 2012

Blog Abu Furqan

Blog Abu Furqan


Sejarah Ilmu Ushul Fiqih

Posted: 15 Mar 2012 05:00 PM PDT

Fase Pertama: Masa Shahabat dan Tabi’in

Allah ta’ala mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Rasul dengan membawa ajaran Islam untuk seluruh umat manusia. Seruan tersebut dimulai di negeri Arab, dan kitab suci al-Qur’an pun diturunkan dengan bahasa Arab. Ajaran Islam dengan kitab suci al-Qur’an al-Karim yang berbahasa Arab ini hadir di tengah-tengah masa keemasan bahasa Arab. Syair dan sastra Arab di masa ini berada di puncak kegemilangan, dan kabilah-kabilah Arab biasa bersaing menunjukkan kepiawaian mereka dalam sastra Arab.

Di masa ini, orang-orang Arab bisa memahami makna yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Hadits tanpa kesulitan yang berarti, karena bahasa al-Qur’an dan al-Hadits adalah bahasa sehari-hari yang mereka gunakan dan telah mendarah daging dalam diri mereka. Mereka mengerti makna-makna lafazh dalam al-Qur’an dan al-Hadits, serta memahami gaya bahasanya. Oleh karena itu, mereka bisa mengambil hukum syara’ dari keduanya tanpa kesulitan.

Masa ini berlangsung selama masa shahabat dan tabi’in, atau hingga awal abad ke-2 hijriyah.

Fase Kedua: Sebelum Masa Imam asy-Syafi’i

Setelah itu, negara Islam meluas. Berbagai bangsa masuk ke dalam Islam, seperti bangsa Romawi, Persia, India dan Barbar. Orang-orang Arab kemudian berbaur, berkumpul dan berkomunikasi dengan mereka. Akhirnya kemampuan berbahasa orang Arab melemah, karena dipengaruhi oleh masuknya lafazh, dialek, dan gaya bahasa non Arab.Akibatnya, sebagian besar orang Arab tidak terlalu mampu lagi memahami nash-nash syar’i. Mereka akhirnya memerlukan kaidah-kaidah bahasa untuk bisa memahami al-Qur’an dan al-Hadits sebagaimana pemahaman kaum muslimin di masa awal.

Mengatasi masalah yang muncul, para ulama kemudian menetapkan beberapa metode untuk menjelaskan tatacara menggunakan dan menarik kesimpulan (beristidlal) dari al-Kitab dan as-Sunnah sehingga menjadi hukum syara’ yang bisa diamalkan. Dari kumpulan kaidah kebahasaan dan kaidah syar’i di atas, tersusunlah ilmu ushul fiqih. Ilmu ini pertama kali tersusun pada abad ke-2 hijriyah.

Yang pertama kali mengumpulkan sebagian kaidah ini dalam sebuah kitab adalah Imam Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah, sebagaimana disebutkan oleh Ibn an-Nadim di kitabnya, al-Fahrasat. Sayangnya, kitab Abu Yusuf ini tidak sampai ke kita.

Orang-orang syi’ah mengatakan bahwa yang pertama kali menyusun kitab dalam bidang ushul fiqih adalah Imam Abu Ja’far Muhammad al-Baqir. Namun pendapat ini tidak punya dasar yang kuat.

Fase Ketiga: Masa Imam asy-Syafi’i (150 – 204 H)

Ulama-ulama sebelum asy-Syafi’i memang sudah membicarakan pembahasan ushul fiqih, sekaligus beristidlal dan saling mengkritik antar mereka. Namun, belum ada kitab yang disusun secara khusus yang menjadi rujukan mereka. Imam asy-Syafi’i lah yang pertama kali menulis sebuah kitab dalam bidang ushul fiqih yang sampai kepada kita, yaitu kitab ar-Risalah.

Kitab ar-Risalah ini memuat pembahasan tentang dalil-dalil ijmali, yaitu Kitab, Sunnah, Qiyas dan Ijma’. Kitab ini juga memuat pembahasan tentang kaidah-kaidah kebahasaan, dan tata cara penggunaannya dalam penggalian hukum-hukum syara’.

Ilmu ushul fiqih yang ditetapkan oleh asy-Syafi’i menjadi dasar dan standar yang kokoh untuk membedakan pendapat yang shahih dan yang tidak shahih, sekaligus menentukan apakah pendapat tersebut berasal dari syara’ atau bukan. Dengan metode ini juga lah asy-Syafi’i melakukan penggalian hukum-hukum syara’, yang kemudian tersusun menjadi fiqih madzhabnya, yaitu madzhab asy-Syafi’i, yang termuat di kitab beliau, al-Umm.

Sebagai contoh, Imam asy-Syafi’i di kitabnya ar-Risalah telah menetapkan tingkatan dalil-dalil ijmali, dan menentukan derajatnya masing-masing, sebagaimana yang ia katakan, “Kami berhukum dengan al-Kitab dan as-Sunnah yang disepakati atasnya, yang tidak ada perbedaan pendapat tentang kedudukannya yang utama. Oleh karena itu, tidak ada qiyas ketika ada khabar (hadits).”

Salah satu ahli sejarah yang menyatakan bahwa asy-Syafi’i adalah orang yang pertama kali menulis buku tentang ushul fiqih adalah Ibn Khaldun. Dalam kitab Muqaddimah-nya, ketika membahas tentang ushul fiqih, beliau menyatakan, “Dan yang pertama kali menulis tentang ushul fiqih adalah asy-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu. Beliau mendiktekannya dalam risalahnya yang masyhur. Beliau berbicara tentang perintah dan larangan, bayan, khabar, nasakh, hukum ‘illat manshush pada qiyas, …”.

Fase Keempat: Masa Setelah Imam asy-Syafi’i

Pasca asy-Syafi’i, banyak ulama dan fuqaha yang kemudian melakukan pengkajian dan pendalaman terhadap ushul fiqih yang telah disusun oleh asy-Syafi’i. Mereka juga memberikan tambahan, memperbaiki, dan menyusunnya berdasarkan bagian-bagian tertentu agar pembahasan dalam ushul fiqih ini bertambah jelas dan terang. Dan upaya mereka ini tetap mengacu dan berdasar pada ushul fiqih yang telah ditetapkan oleh asy-Syafi’i.

Ushul fiqih yang disusun oleh asy-Syafi’i belumlah lengkap sebagaimana pembahasan ushul fiqih di masa sekarang. Kemudian ulama setelah beliau menyempurnakan bangunan ushul fiqih yang dimulai oleh asy-Syafi’i. Ada ulama yang mengikuti metode asy-Syafi’i secara terperinci, ada juga yang memasukkan kaidah-kaidah baru, dan ada juga yang menentang dan mengkritik sebagian kaidah yang telah disebutkan asy-Syafi’i.

Pembahasan ushul fiqih di masa ini hanya terbatas pada pembahasan syarah terhadap ushul fiqih asy-Syafi’i, tambahan beberapa kaidah baru, dan kritik terhadap sebagian kaidah. Belum membahas kajian ushul fiqih secara keseluruhan, seperti yang dikenal di masa sekarang.

Beberapa ulama yang menyusun kitab syarah terhadap ar-Risalah-nya asy-Syafi’i di masa ini adalah:

1. Syarah Abu Bakr Muhammad ash-Shairafi (w. 330 H), dikenal dengan nama Dala-il al-I’lam.

2. Syarah Abu Muhammad al-Qaffal asy-Syasyi (w. 365 H).

3. Syarah Abu Muhammad ‘Abdullah ibn Yusuf al-Juwaini (w. 438 H).

Beberapa ulama yang pertama kali menulis kitab yang berisi pembahasan ushul fiqih setelah asy-Syafi’i adalah:

1. Imam Ahmad ibn Hanbal, dalam kitab Tha’ah ar-Rasul, an-Nasikh wa al-Mansukh, dan al-’Ilal.

2. Dawud azh-Zhahiri, dalam kitab Ibthal al-Qiyas, al-Khushush wa al-’Umum, dan lain-lain. Beliau ini banyak melakukan kritik terhadap ushul fiqih asy-Syafi’i.

3. Muhammad at-Tirmidzi (w. 255 H), dalam kitab Itsbat al-’Ilal asy-Syar’iyah.

Kitab-kitab di atas hanya membatasi diri pada pembahasan penyelesaian masalah-masalah yang diperselisihkan. Ada yang mengokohkan ushul fiqih asy-Syafi’i sekaligus membantah pendapat-pendapat yang menyelisihinya, ada juga yang menguatkan madzhab si penulis kitab sekaligus membantah madzhab asy-Syafi’i.

Fase Kelima: Masa Setelah Berkembangnya dan Meluasnya Madzhab-Madzhab Fiqih

Setelah itu, negara Islam semakin meluas, sampai Cina di timur dan Andalusia di barat. Warga negara Islam terdiri dari berbagai bangsa, dan berkomunikasi menggunakan berbagai bahasa. Dalam keadaan ini, kebutuhan umat terhadap keberadaan ulama yang mampu menjelaskan berbagai persoalan kepada mereka semakin terasa. Di masa ini juga kemudian ushul fiqih semakin berkembang, seiring berkembang dan meluasnya madzhab-madzhab fiqih.

Sebagai gambaran, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, para pengikut madzhab Syafi’i lebih fokus untuk melakukan syarah terhadap ushul fiqih asy-Syafi’i yang ada dalam kitab ar-Risalah. Sedangkan pengikut Madzhab Maliki menggunakan metode ushul fiqih asy-Syafi’i, namun mereka menambahkan ijma’ ahlil madinah, istihsan, mashalih mursalah, dan adz-dzarai’ sebagai dalil ijmali, yang ditolak oleh asy-Syafi’i.

Adapun madzhab Hanabilah, mereka menggunakan apa yang digunakan oleh asy-Syafi’i. Namun dalam hal ijma’, Imam Ahmad hanya menerima ijma’ shahabat, sedangkan asy-Syafi’i menerima ijma’ mujtahidin dari umat Islam di satu masa, tidak hanya membatasi pada masa shahabat. Setelah masa imam Ahmad, pengikut madzhab ini kemudian menerima kehujjahan ijma’ mujtahidin, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Muwaffiquddin ibn Ahmad ibn Qudamah al-Maqdisi (w. 630 H) dalam kitabnya Raudhah an-Nazhir wa Jannah al-Munazhir fi Ushul al-Fiqh.

Adapun pengikut madzhab Abu Hanifah membuat sendiri ushul fiqih untuk menguatkan fiqih mereka. Mereka memasukkan istihsan dan ‘urf sebagai dalil ijmali, selain al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Kitab fiqih yang pertama kali ditulis oleh pengikut madzhab ini adalah Risalah al-Karkhi fi al-Ushul yang ditulis oleh Abu al-Hasan ‘Ubaidullah ibn al-Hasan al-Karkhi (w. 340 H), kemudian kitab Ushul al-Jashshash karya al-Jashshash (w. 370 H). Metode mereka berbeda dengan metode yang dilakukan oleh Imam asy-Syafi’i.

Adapun pengikut madzhab Zhahiri, mereka menolak menggunakan qiyas, mereka hanya menggunakan zhahir nash. Madzhab ini didirikan oleh Dawud ibn Khalaf al-Ashfahani azh-Zhahiri. Salah satu ulama yang mengikuti metode zhahiri ini adalah Ibn Hazm al-Andalusi.

Sedangkan Syi’ah Imamiyah pengikut Imam Ja’far ash-Shadiq, sama seperti madzhab Zhahiri mereka juga menolak qiyas. Mereka juga membatasi penggalian fiqih hanya berdasarkan penggalian yang dilakukan oleh imam-imam mereka saja.

Jika dikaji lebih lanjut, maka akan terlihat bahwa madzhab yang empat dan selainnya dari kalangan ahlus sunnah menggunakan dua metode ushul fiqih, yaitu metode asy-Syafi’i yang dikenal sebagai metode mutakallimin, dan metode pengikut Abu Hanifah yang dikenal sebagai metode fuqaha.

Pembahasan secara khusus tentang perbedaan metode mutakallimin dan metode fuqaha insya Allah akan ditulis secara khusus. Semoga Allah memudahkan.


Bahan Bacaan:

Kitab al-Wadhih fii Ushul al-Fiqh karya Muhammad Husain ‘Abdullah

*****

Baca juga semua artikel di bawah ini:

Wednesday 14 March 2012

Blog Abu Furqan

Blog Abu Furqan


Langit Mana yang Akan Menaungiku…

Posted: 13 Mar 2012 05:00 PM PDT

1. أنتم أعلم بالأخبار الصحاح منا، فإذا كان خبر صحيح، فأعلمني حتى أذهب إليه، كوفيا كان، أو بصريا، أو شاميا

–> ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal berkata: ‘Saya mendengar ayahku berkata bahwa asy-Syafi’i berkata, “Anda lebih mengetahui tentang khabar (hadits) yang shahih dibandingkan kami. Jika ada khabar yang shahih, beritahukanlah kepadaku, agar aku bisa mengikutinya, baik itu khabar kufi (dari orang-orang Kufah), bashri (dari orang-orang Bashrah), atupun syami (orang-orang Syam).”

2. كل ما قلته فكان من رسول الله -صلى الله عليه وسلم- خلاف قولي مما صح، فهو أولى، ولا تقلدوني

–> Harmalah berkata: asy-Syafi’i berkata, “Setiap apa saja yang telah kukatakan ternyata bertentangan dengan hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits itu lebih utama untuk diikuti, dan janganlah kalian bertaqlid kepadaku.”

3. إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله -صلى الله عليه وسلم- فقولوا بها، ودعوا ما قلته

–> Dari ar-Rabi’: saya mendengar asy-Syafi’i berkata, “Jika kalian menemukan di kitabku pendapat yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berhujjahlah dengannya (as-sunnah) dan tinggalkanlah pendapatku.”

4. أي سماء تظلني، وأي أرض تقلني إذا رويت عن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- حديثا فلم أقل به

–> Ar-Rabi’ berkata: saya mendengar asy-Syafi’i berkata, “Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan membawaku, jika aku meriwayatkan satu hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun aku tidak berhujjah dengannya.”

5. كل حديث عن النبي -صلى الله عليه وسلم- فهو قولي، وإن لم تسمعوه مني

–> Abu Tsaur berkata: saya mendengar asy-Syafi’i berkata, “Setiap ada hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itu adalah pendapatku, meskipun kalian tak pernah mendengarnya dariku.”

6. إذا صح الحديث فهو مذهبي ، وإذا صح الحديث، فاضربوا بقولي الحائط

–> Diriwayatkan juga bahwa asy-Syafi’i berkata, “jika ada satu hadits shahih, maka itu adalah madzhabku. Dan jika ada satu hadits shahih (bertentangan dengan pendapatku), maka lemparkanlah pendapatku ke dinding.”

Sumber: Siyar A’laamin Nubalaa karya Imam adz-Dzahabi

*****

Pernyataan Imam asy-Syafi’i rahimahullah di atas menunjukkan komitmen beliau terhadap sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehebat apapun asy-Syafi’i, manusia –termasuk asy-Syafi’i sendiri– tetap harus mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan mengikuti asy-Syafi’i.

Pernyataan di atas juga menunjukkan tawadhu’nya imam asy-Syafi’i. Sebagai seorang yang sangat ‘alim, faqih dan ahli hadits, seandainya beliau mau, tentu beliau bisa mencukupkan diri dengan pendapatnya saja, tanpa perlu mendengarkan pendapat orang lain. Namun, asy-Syafi’i bukan orang yang seperti itu, beliau tetap meminta imam Ahmad dan yang lainnya mengingatkan sekaligus mengoreksi jika pendapat beliau tidak sesuai dengan yang ditunjukkan oleh sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, dengan tegas beliau meminta orang lain untuk meninggalkan pendapat beliau jika bertentangan dengan sunnah.

Bandingkan sifat tawadhu’ ini dengan sifat sebagian anak muda muslim saat ini, yang ilmunya tidak sampai sepersepuluhnya ilmu asy-Syafi’i, namun lagaknya sudah seperti mujtahid mutlak, begitu gampangnya menyalahkan, membid’ahkan bahkan menyesatkan orang lain yang berbeda pendapat dengannya. Dengan mengusung slogan kembali ke al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai manhaj salafush shalih, mereka dengan ‘beringasnya’ menuduh semua pihak yang pendapatnya berbeda dengan kelompok mereka sebagai ahlul bid’ah dan pengikut hawa nafsu. Inikah ketawadhu’an salaful ummah yang mereka ikuti?

*****

Baca juga semua artikel di bawah ini:

Tuesday 6 March 2012

Blog Abu Furqan

Blog Abu Furqan


Seputar Thaharah (bagian 1)

Posted: 05 Mar 2012 04:00 PM PST

Pengantar

Fuqaha mendahulukan pembahasan thaharah daripada pembahasan shalat karena thaharah adalah pembuka shalat sekaligus syarat sahnya shalat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُوْرُ ، وَتَحْرِيْمُهَا التَّكْبِيْرُ ، وَتَحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ

Artinya: “Kunci shalat adalah bersuci, pengharamannya adalah takbir dan penghalalannya adalah salam.” [Hadits shahih hasan, dikeluarkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibn Majah dari 'Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu 'anhu]

اَلطُّهُوْرُ شَطْرُ الْإِيْمَانِ

Artinya: “Bersuci adalah setengah dari iman.” [Hadits shahih riwayat Muslim]

Pengertian dan Urgensi Thaharah

Pengertian Thaharah

Secara bahasa, thaharah berarti bersih dari kotoran, baik secara fisik seperti bersih dari air kencing, maupun secara maknawi seperti bersih dari maksiat.

Sedangkan secara syar’i, thaharah berarti ‘bersih dari najis, baik secara hakikat yaitu dari khabats (sesuatu yang dianggap kotor dan jijik menurut syara’), maupun secara hukum yaitu dari hadats (sesuatu yang menurut syara’ jika terdapat pada seseorang, ia akan kehilangan kesucian)’. Definisi ini diambil dari kalangan Hanafiyah.

An-Nawawi (dari kalangan Syafi’iyah) mendefinisikan thaharah dengan ‘mengangkat hadats dan menghilangkan najis, atau yang semakna dan memiliki sifat yang sama dengannya’. Definisi ini mencakup tayammum, mandi sunnah, memperbarui wudhu, pembasuhan yang kedua dan ketiga pada hadats dan najis, mengusap telinga, berkumur dan beberapa nafilah lainnya dalam thaharah, termasuk juga bersuci bagi wanita yang keluar darah penyakit dan orang yang tidak dapat menahan kencing.

Kalangan Malikiyah dan Hanabilah mendefinisikan thaharah dengan ‘menghilangkan sesuatu yang menyebabkan terhalangnya shalat, yaitu hadats dan najis dengan air, atau menghilangkan hukumnya dengan tanah’.

Dari definisi thaharah di atas, bisa dipahami bahwa thaharah terbagi menjadi dua macam, yaitu bersuci dari hadats (khusus badan) dan bersuci dari khabats (badan, pakaian dan tempat). Bersuci dari hadats terbagi tiga, yaitu (1) hadats besar, dengan mandi, (2) hadats kecil, dengan wudhu, (3) pengganti keduanya jika sangat sulit untuk mandi dan berwudhu, yaitu dengan tayammum. Bersuci dari khabats juga terbagi tiga, yaitu dengan membasuh (ghusl), mengusap (mas-h) dan memercikkan air (nadh-h).

Jadi, thaharah mencakup wudhu, mandi, menghilangkan najis, tayammum dan yang berhubungan dengannya.

Urgensi Thaharah

Thaharah sangat penting dalam Islam, baik thaharah secara hakikat yaitu mensucikan pakaian, badan dan tempat shalat dari najis, maupun secara hukum yaitu mensucikan anggota badan dari hadats, dan mensucikan seluruh tubuh dari janabah. Hal ini karena ia merupakan syarat untuk sahnya shalat yang dilakukan lima kali sehari, dan shalat adalah berdiri menghadap Allah ta’ala, melakukannya dalam keadaan suci merupakan sikap ta’zhim (pengagungan) kepada Allah.

Islam juga sangat menyukai kebersihan dan kesucian. Allah ta’ala memuji orang-orang yang bersuci:

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

Artinya: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri.” [al-Baqarah ayat 222]

Syarat Wajib Thaharah

Diwajibkan membersihkan badan, pakaian, dan tempat jika terkena najis, berdasarkan firman Allah ta’ala:

وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ

Artinya: “Dan pakaianmu bersihkanlah.” [al-Muddatstsir ayat 4]

أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِيْنَ وَالْعَاكِفِيْنَ وَالرُّكَّعِ السُّجُوْدِ

Artinya: “Bersihkanlah (wahai Ibrahim dan Isma’il) rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” [al-Baqarah ayat 125]

Jika membersihkan pakaian dan tempat diwajibkan, maka membersihkan badan tentu lebih utama.

Diwajibkan thaharah bagi orang yang diwajibkan shalat, dan itu ada 10 syarat, yaitu:

1. Islam

Ada juga yang mengatakan ‘sampainya dakwah’. Dalam hal ini, ada yang berpendapat orang kafir tidak diwajibkan, ada juga yang berpendapat tetap diwajibkan. Perbedaan pendapat ini lahir dari perbedaan pendapat yang lebih mendasar, yaitu tentang ‘diserunya orang-orang kafir untuk melaksanakan cabang-cabang syari’ah’.

Menurut pendapat mayoritas fuqaha, orang-orang kafir diseru untuk melaksanakan cabang-cabang ibadah, jadi mereka di akhirat akan dihukum dengan dua hukuman, yaitu hukuman karena tidak beriman dan hukuman karena meninggalkan cabang-cabang perintah agama. Sedangkan menurut Hanafiyah, orang-orang kafir tidak diseru untuk melaksanakan cabang-cabang syari’ah. Di akhirat, orang-orang kafir hanya akan dihukum karena tidak beriman, tidak karena meninggalkan cabang-cabang syari’ah.

Meskipun begitu, dua kelompok ini (mayoritas fuqaha dan Hanafiyah) sepakat bahwa pelaksanaan ibadah yang dilakukan orang kafir tidak sah selama mereka masih dalam kekafiran. Dan jika mereka masuk Islam, mereka tidak dituntut untuk meng-qadha’. Dan orang kafir tidak sah shalatnya menurut ijma’ (kesepakatan ulama).

Jika orang murtad kembali masuk Islam, menurut mayoritas fuqaha, ia tidak dituntut untuk meng-qadha’ shalat yang ditinggalkannya selama murtad. Sedangkan menurut Syafi’iyah, ia dituntut untuk meng-qadha’-nya.

2. Berakal

Tidak wajib thaharah bagi orang gila dan orang pingsan, kecuali mereka kembali sadar saat tiba waktu shalat. Sedangkan orang mabuk tidak gugur kewajiban thaharahnya.

3. Baligh

Tandanya ada 5, yaitu: (a) mimpi basah, (b) tumbuh rambut kemaluan, (c) haidh, (d) hamil, dan (e) mencapai usia baligh, yaitu 15 tahun, ada juga yang berpendapat 17 tahun, Abu Hanifah mengatakan 18 tahun. Tidak wajib thaharah bagi anak kecil, namun ia tetap diperintahkan untuk melakukannya pada usia 7 tahun, dan dipukul jika tidak melakukannya pada usia 10 tahun.

Jika seorang anak kecil sudah melaksanakan shalat, kemudian ia mencapai baligh di sisa waktu shalat, maka ia wajib mengulang shalatnya menurut Malikiyah. Sedangkan menurut Syafi’iyah, ia tidak perlu mengulang shalatnya.

4. Berhentinya Darah Haidh atau Nifas

5. Masuk Waktu Shalat

6. Tidak Tidur

7. Tidak Lupa

8. Tidak Dipaksa Untuk Tidak Thaharah.

Menurut ijma’, orang yang tidur, lupa dan dipaksa wajib meng-qadha’ apa yang tertinggal.

9. Terdapat Air atau Tanah yang Suci

Jika keduanya tidak ada, ada yang berpendapat ia tetap harus shalat tanpa bersuci dan kemudian ia harus meng-qadha’-nya. Ada juga yang berpendapat tidak perlu meng-qadha’. Dan ada juga yang berpendapat ia tidak perlu shalat dan harus meng-qadha’-nya.

Tema ini –insya Allah– nanti akan dibahas secara terperinci.

10. Memiliki Kemampuan Untuk Melakukannya


Rujukan:

Kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu Juz 1, karya Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili.

(Kitab bisa diunduh di SINI)

*****

Baca juga semua artikel di bawah ini: