Sunday 18 March 2012

Blog Abu Furqan

Blog Abu Furqan


Adakah Bid’ah Hasanah?

Posted: 17 Mar 2012 05:00 PM PDT

Bid’ah hasanah, sebuah istilah yang sering menjadi polemik di tengah umat. Ada yang mendukung, dan ada yang menolak. Bahkan ada yang menyatakan istilah bid’ah hasanah itu hanya dibuat-buat oleh pelaku bid’ah sebagai pembenaran atas aktivitas mereka. Benarkah seperti itu?

Istilah bid’ah hasanah ternyata telah dikemukakan oleh ulama-ulama besar yang menjadi rujukan umat Islam. Berikut di antaranya:

1. Imam Nashir as-Sunnah Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i al-Muthallibi (w. 204 H)

Dalam kitab Hilyah al-Auliyaa wa Thabaqat al-Ashfiyaa [IX/113] karya Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani (w. 430 H) dinukil pernyataan Imam asy-Syafi’i sebagai berikut:

البدعة بدعتان بدعة محمودة، وبدعة مذمومة. فما وافق السنة فهو محمود، وما خالف السنة فهو مذموم

Artinya: “Bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Yang sesuai dengan as-Sunnah, maka ia terpuji. Sedangkan yang berlawanan dengan as-Sunnah, maka ia tercela.”

Beliau berhujjah dengan perkataan ‘Umar ibn al-Khaththab, ‘sebaik-baik bid’ah adalah ini’.

2. Sulthan al-’Ulama Imam ‘Izz ad-Diin ‘Abd al-’Aziz ibn ‘Abd as-Salam ad-Dimasyqi (w. 660 H)

Dalam kitab Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam [II/204], Imam ‘Izz ad-Diin ibn ‘Abd as-Salam menyatakan:

البدعة فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله – صلى الله عليه وسلم -. وهي منقسمة إلى: بدعة واجبة، وبدعة محرمة، وبدعة مندوبة، وبدعة مكروهة، وبدعة مباحة، والطريق في معرفة ذلك أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة: فإن دخلت في قواعد الإيجاب فهي واجبة، وإن دخلت في قواعد التحريم فهي محرمة، وإن دخلت في قواعد المندوب فهي مندوبة، وإن دخلت في قواعد المكروه فهي مكروهة، وإن دخلت في قواعد المباح فهي مباحة

Artinya: “Bid’ah adalah aktivitas yang tidak ada di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ia terbagi menjadi: bid’ah yang wajib, bid’ah yang diharamkan, bid’ah yang mandub, bid’ah yang makruh, dan bid’ah yang mubah. Dan metode untuk mengetahui hal ini adalah melihat hubungannya dengan kaidah-kaidah syari’ah. Jika masuk ke kaidah wajib, maka bid’ah tersebut menjadi wajib. Jika masuk ke kaidah pengharaman, maka ia menjadi haram. Jika masuk ke kaidah mandub, maka ia mandub. Jika masuk ke kaidah makruh, maka ia makruh. Dan jika masuk ke kaidah mubah, maka ia menjadi mubah.”

Beliau menyebutkan salah satu contoh bid’ah yang mubah adalah berjabat tangan setelah shalat shubuh dan ‘ashar.

3. Imam Muhy ad-Diin Abu Zakariya Yahya ibn Syaraf an-Nawawi (w. 676 H)

Dalam kitab Tahdzib al-Asma wa al-Lughat [III/22], Imam an-Nawawi menyatakan:

البِدعة بكسر الباء في الشرع هي إحداث ما لم يكن في عهد رسول الله – صلى الله عليه وسلم -، وهي منقسمة إلى: حسنة وقبيحة

Artinya: “Bid’ah, dengan huruf ba’ di-kasrah, menurut syara’ adalah perkara baru yang belum ada di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ia terbagi menjadi dua, hasanah dan qabihah.”

Dalam kitab al-Minhaj Syarh Shahih Muslim [VII/104-105], Imam an-Nawawi ketika mengomentari hadits “man sanna fil Islam sunnatan hasanatan…” menyatakan:

وفي هذا الحديث تخصيص قوله صلى الله عليه وسلم كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وأن المراد به المحدثات الباطلة والبدع المذمومة وقد سبق بيان هذا في كتاب صلاة الجمعة وذكرنا هناك أن البدع خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة

Artinya: “Dan hadits ini merupakan takhshish (pengkhususan) dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘setiap yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat’. Yang dimaksud oleh hadits ini (kullu bid’atin dhalalah) adalah perkara baru yang batil dan bid’ah yang tercela. Dan sebelumnya sudah ada penjelasan dalam kitab (bab) Shalat Jum’at, disana kami menyebutkan bahwa bid’ah terbagi menjadi lima macam, yaitu bid’ah yang wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah.”

4. Imam al-Hafizh Abu al-Fadhl Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-’Asqalani (w. 852 H)

Dalam Kitab Fath al-Bari [IV/253], Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani menyatakan:

والبدعة أصلها ما أحدث على غير مثال سابق وتطلق في الشرع في مقابل السنة فتكون مذمومة والتحقيق أنها إن كانت مما تندرج تحت مستحسن في الشرع فهي حسنة وأن كانت مما تندرج تحت مستقبح في الشرع فهي مستقبحة وإلا فهي من قسم المباح

Artinya: “Dan bid’ah pada asalnya adalah perkara baru yang tidak ada contohnya di masa lalu. Dan disebutkan oleh syara’, jika bertentangan dengan as-Sunnah, maka ia tercela. Dan berdasarkan pengkajian, jika bid’ah tersebut termasuk dalam perbuatan yang dianggap baik oleh syara’, maka ia adalah bid’ah hasanah. Jika bid’ah tersebut termasuk dalam perbuatan yang dianggap jelek oleh syara’, maka ia adalah bid’ah yang buruk. Dan jika tidak termasuk dalam keduanya, maka ia termasuk dalam bid’ah yang mubah.”

Dalam kitab al-Hawi li al-Fatawa [I/229] karya Imam as-Suyuthi, dinukil pernyataan Imam al-Hafizh Ibn Hajar tentang maulid sebagai berikut:

أصل عمل المولد بدعة لم تنقل عن أحد من السلف الصالح من القرون الثلاثة، ولكنها مع ذلك قد اشتملت على محاسن وضدها، فمن تحرى في عملها المحاسن وتجنب ضدها كان بدعة حسنة وإلا فلا

Artinya: “Asal perbuatan maulid adalah bid’ah. Tidak diriwayatkan oleh satu orang pun dari kalangan salafus shalih di tiga ksurun pertama. Akan tetapi di dalamnya terdapat kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan. Barangsiapa melakukan kebaikan-kebaikan tersebut di dalamnya, dan menjauhi keburukan-keburukannya, maka itu adalah bid’ah hasanah, dan jika ia tidak melakukannya maka itu bukan bid’ah hasanah.”

Imam ‘Abd ar-Rahman ibn Abi Bakr Jalal ad-Diin as-Suyuthi (w. 911 H)

Dalam kitab al-Hawi li al-Fatawa [I/221-222], Imam as-Suyuthi menyatakan:

عندي أن أصل عمل المولد الذي هو اجتماع الناس وقراءة ما تيسر من القرآن ورواية الأخبار الواردة في مبدأ أمر النبي صلى الله عليه وسلم وما وقع في مولده من الآيات، ثم يمد لهم سماط يأكلونه وينصرفون من غير زيادة على ذلك – هو من البدع الحسنة التي يثاب عليها صاحبها لما فيه من تعظيم قدر النبي صلى الله عليه وسلم وإظهار الفرح والاستبشار بمولده الشريف

Artinya: “Menurutku, pada dasarnya aktivitas maulid adalah berkumpulnya manusia sembari membaca yang mudah dari al-Qur’an, menyampaikan cerita tentang awal mula keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang terjadi saat kelahiran beliau dari berbagai ayat. Kemudian disajikan kepada mereka hidangan untuk mereka makan. Jika mereka melakukan hal tersebut, tanpa ada tambahan yang lain, maka itu termasuk bid’ah hasanah, yang pelakunya akan mendapat pahala. Hal ini karena mereka mengagungkan kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran beliau yang mulia.”

*****

Beginilah adanya. Jadi, jika ada orang yang menyatakan bahwa bid’ah hasanah tidak dikenal di kalangan ulama yang mu’tabar, kenyataannya adalah sebaliknya, istilah bid’ah hasanah bukan cuma dikenal, bahkan didukung oleh sebagian mereka.

Memang, pembagian bid’ah semacam ini diperselisihkan di kalangan ulama. Ada yang menerima dan mendukung, ada juga yang menolak. Yang mendukung istilah ini pun, dalam rinciannya belum tentu sama. Namun, paling tidak, dari beberapa kutipan yang saya muat di atas, mudah-mudahan sedikit membuka mata dan telinga kita, bahwa pembagian semacam ini adalah perkara khilafiyah. Kita tentu boleh mengikuti salah satu pendapat, yang menurut kita kuat (silakan baca: http://abufurqan.com/2012/02/11/beberapa-sikap-ilmiah-dalam-pengkajian-pemikiran-islam/), namun kita juga harus bisa berlapang dada terhadap pendapat yang berbeda.

Jika ada yang mengatakan bahwa yang harus kita ikuti adalah perkataan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan perkataan si fulan A atau si fulan B, pernyataan ini benar. Kita memang harus mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Namun, yang juga perlu kita ketahui, untuk memahami secara benar al-Qur’an dan as-Sunnah, itu tidaklah mudah. Perlu disiplin ilmu tertentu dengan kedalaman kajian tertentu, baru kita bisa secara langsung merujuk kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika belum mampu, tentu kita wajib mengikuti pendapat ulama yang mumpuni dalam hal ini.

Jika kita kenal Imam asy-Syafi’i,’Izz ad-Diin ibn ‘Abd as-Salam, an-Nawawi, al-Hafizh Ibn Hajar dan as-Suyuthi, tentu kita tak bisa menerima jika ada yang menyatakan bahwa lima nama tersebut berpendapat mengikuti hawa nafsu mereka. Siapakah kita dibanding mereka?

Terakhir, perlu saya jelaskan bahwa di sini saya sama sekali tidak mengemukakan pendapat mana yang saya ikuti. Tulisan ini hanya ingin mendudukkan persoalan ini –semampu saya– secara lebih proporsional. Bahwa dalam persoalan ini terjadi ikhtilaf di kalangan ulama, ini harus diterima, karena faktanya memang demikian.

Wallahul muwaffiq ilaa aqwamith thariiq.

*****

Baca juga semua artikel di bawah ini:

No comments:

Post a Comment